Dalam mendukung pelaksanaan pendidikan inklusif, pemerintah pun sudah mulai melaksanakan beberapa kegiatan atau layanan terkait.

Sebenarnya, Pemda DKI sudah melakukan beberapa upaya. Diantaranya adalah melatih guru-guru umum di sekolah reguler untuk mengikuti layanan pelatihan PDBK (Peserta Didik Berkebutuhan Khusus), itu satu. Kedua, memberikan posko sampai tingkat kecamatan, namanya Unit Layanan Disabilitas (ULD). Nah, kami di tingkat Walikota belum menyediakan psikolog, karena kalau psikolog itu adanya di provinsi dan itu semuanya free,

jelas Wanto, Suku Dinas (Sudin) Pendidikan Wilayah II Jakarta Barat
(Senin, 20/10/2025).

Namun, Wanto juga menyadari kesulitan di lapangan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus sangatlah nyata. Ia menyatakan bahwa memang ada beberapa kendala yang membuat pelatihan PDBK bagi para guru atau layanan ULD belum berjalan maksimal. Pertama, adanya keterbatasan kuota pada setiap pelatihan. Kedua, belum semua sekolah menyadari adanya layanan ULD yang disediakan pemerintah. Oleh karena itu, Sudin Pendidikan juga memiliki inisiatif baru untuk melakukan asesmen terhadap PDBK di sekolah-sekolah reguler yang berkolaborasi dengan psikolog di tahun ini. Asesmen diadakan bagi 100 PDBK dari sejumlah SD dan SMP negeri di wilayah Jakarta Barat.

slide-asset-1

Kegiatan asesmen PDBK di kantor walikota Jakarta Barat, Selasa (21/10/2025).
Sumber: Dok. Penulis.

Pada asesmen tersebut, PDBK akan diberikan psikotes, melakukan wawancara bersama penguji. Kemudian, hasilnya akan diproses oleh tim psikolog. Sesudah itu, hasil dari masing-masing anak pun akan dibagikan secara personal dan para guru juga akan diberikan strategi atau rekomendasi untuk menangani pendidikan masing-masing anak.

Dari kami, pastilah mengupayakan memberikan layanan sebaik mungkin dengan cara menyiapkan SDM yang mumpuni melalui pelatihan-pelatihan. Mudah-mudahan ke depannya tidak hanya retorika, tetapi betul-betul ada action-nya anak-anak PDBK yang di sekolah reguler itu bisa tertangani. Termasuk upaya kerjasama dengan CSR, memberikan layanan konsul tanpa biaya. Itu sebuah upaya, ujar Wanto (Senin, 20/10/2025). Ia berharap upaya ini dapat terus dilangsungkan secara bertahap dan menyeluruh hingga menjangkau semua daerah serta sekolah yang ada di Indonesia.

Namun, perlu dipahami bahwa persoalan pendidikan inklusif tidak hanya berhenti pada kesiapan guru atau fasilitas sekolah. Tantangan yang jauh lebih kompleks justru terletak pada cara masyarakat memandang perbedaan. Penolakan yang dulu dialami Mona dan Abraham kerap berawal dari ketakutan atau ketidaktahuan orang tua murid lain yang merasa terganggu dengan kehadiran anak-anak autisme di ruang kelas anak mereka.

Oleh karena itu, pendidikan inklusif seharusnya tidak hanya menjadi proyek sekolah, tetapi juga gerakan sosial yang melibatkan seluruh komunitas. Orang tua, guru, dan masyarakat perlu mendapatkan edukasi untuk menumbuhkan empati, memahami perilaku anak dengan autisme, dan menghapus stigma bahwa mereka ‘menghambat’ proses belajar anak lain. Hanya dengan perubahan cara pandang kolektif inilah, penolakan demi penolakan seperti yang dialami Mona tak lagi menjadi cerita yang berulang di masa depan.

Project Akhir Skripsi Berbasis Karya Universitas Multimedia Nusantara:
Interactive Multimedia Storytelling