Mona menaikkan Abraham ke jok motornya dan menaruh tas kecil Abraham di keranjang depan motor. Tanpa berlama-lama, ia menyalakan mesin dan menancapkan gas motor itu. Jalanan terlihat ramai dengan berbagai kendaraan yang berlalu-lalang, tetapi semua suara hiruk pikuk itu seolah tak terdengar oleh Mona. Satu-satunya hal yang terngiang-ngiang di kepalanya adalah perkataan beberapa temannya yang mengunjungi dirinya beberapa waktu belakangan.

Mona, dosa apa yang kamu perbuat
sampai kamu punya anak seperti ini?

Kamu punya kutuk apa?
Sampai kamu punya anak ini.
Sambil terus menatap jalanan, air mata pun menetes perlahan demi perlahan membasahi pipinya yang dingin terkena angin pagi. Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan? Suamiku bersusah payah mencarikan nafkah demi membiayai kebutuhan pendidikan Abraham dan kebutuhan rumah tangga kami. Aku lelah. Aku tidak kuat,
pikirnya di dalam hati. Itulah saat di mana ia melihat banyak truk melintas di depan dirinya. Otaknya mulai kacau dan membentuk tekad untuk menghampiri truk-truk yang ada.
Sudahlah, yuk Abraham kita mati berdua. Mungkin kuburan kita bisa digabung, jadinya tidak boros lagi nak. Maafkan mama nak.
Abraham tidak bergeming, sementara motor Mona kian mendekati truk-truk besar. Sedikit demi sedikit, dunia terasa gelap, hati Mona sudah siap menerima kenyataan bahwa hidupnya dan sang anak akan berhenti sesaat lagi.
M-mama tas jatuh. . .mama tas ja-jatuh.

Suara pelan itu seketika memecah keheningan. Mona menghentikan gas dan ia pun langsung menepi ke sisi jalanan yang rindang. Abraham, yang selama ini belum pernah berbicara satu patah kata pun, tiba-tiba berbicara. Dengan gemetar, Mona melirik ke arah jok di belakang dan melihat tas kecil Abraham benar-benar telah jatuh ke jalanan. Ia terpaku, air mata mengalir deras.
Nak, kamu ngomong apa nak? Kamu ngomong? Kamu ngomong? Kamu kan belum bisa ngomong.
Mona memegang erat kedua bahu anak itu, air mata mengalir deras dan isak tangisnya pun meluap tanpa henti. Abraham tidak bergerak, kembali diam, tanpa mengeluarkan kata-kata apapun lagi. Mona pun memeluk erat sang anak sambil berkata
Maafkan aku Tuhan. Maafkan mama nak.
Semuanya berubah bagi Mona. Walaupun dunia terasa berat dan penolakan terus ia terima, ia bertekad untuk mengurus dan mendidik Abraham dengan sepenuh hatinya karena ia merasa ditegur oleh keajaiban yang terjadi di hari itu. Seakan-akan Tuhan tidak mengizinkannya untuk meninggalkan dunia ini walaupun ada begitu banyak kesulitan yang dihadapi, baik secara finansial, fisik, dan emosi. Hari itu, di pinggir jalan yang rindang, seorang ibu kembali menemukan alasan untuk hidup dan berjuang.