awan-1
awan-7
awan-1

Titik

Balik

Pagi itu, embun pagi terasa sendu nan sejuk tetapi rasanya udara begitu berat bagi Mona. Setiap hari, ia berpikir keras mengenai pendidikan Abraham, kemana lagi ia harus pergi untuk mencarikan sekolah, ditambah beban finansial yang seakan-akan tiada habisnya. Tepat saat matahari mulai muncul, Mona berjalan keluar dari rumahnya sambil membawa Abraham yang hampir berusia delapan tahun. Ia terlihat gundah, air mukanya tidak tenang. Namun, tangannya tetap menggenggam erat Abraham yang mengikutinya tanpa suara.

Abraham masih belum bisa berbicara dan suara yang ia keluarkan hanya sebatas gumaman kata-kata tanpa arti.

Ilustrasi makanan-makanan Abraham > Garam himalaya, susu bebas kasein, tepung mocaf, salmon, buah mangga

Mona menaikkan Abraham ke jok motornya dan menaruh tas kecil Abraham di keranjang depan motor. Tanpa berlama-lama, ia menyalakan mesin dan menancapkan gas motor itu. Jalanan terlihat ramai dengan berbagai kendaraan yang berlalu-lalang, tetapi semua suara hiruk pikuk itu seolah tak terdengar oleh Mona. Satu-satunya hal yang terngiang-ngiang di kepalanya adalah perkataan beberapa temannya yang mengunjungi dirinya beberapa waktu belakangan.

chat-bubble

Mona, dosa apa yang kamu perbuat
sampai kamu punya anak seperti ini?

chat-bubble

Kamu punya kutuk apa?
Sampai kamu punya anak ini.

cloud-4
cloud-4

Sambil terus menatap jalanan, air mata pun menetes perlahan demi perlahan membasahi pipinya yang dingin terkena angin pagi. Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan? Suamiku bersusah payah mencarikan nafkah demi membiayai kebutuhan pendidikan Abraham dan kebutuhan rumah tangga kami. Aku lelah. Aku tidak kuat,pikirnya di dalam hati. Itulah saat di mana ia melihat banyak truk melintas di depan dirinya. Otaknya mulai kacau dan membentuk tekad untuk menghampiri truk-truk yang ada.

Sudahlah, yuk Abraham kita mati berdua. Mungkin kuburan kita bisa digabung, jadinya tidak boros lagi nak. Maafkan mama nak.

Abraham tidak bergeming, sementara motor Mona kian mendekati truk-truk besar. Sedikit demi sedikit, dunia terasa gelap, hati Mona sudah siap menerima kenyataan bahwa hidupnya dan sang anak akan berhenti sesaat lagi.

M-mama tas jatuh. . .mama tas ja-jatuh.

Suara pelan itu seketika memecah keheningan. Mona menghentikan gas dan ia pun langsung menepi ke sisi jalanan yang rindang. Abraham, yang selama ini belum pernah berbicara satu patah kata pun, tiba-tiba berbicara. Dengan gemetar, Mona melirik ke arah jok di belakang dan melihat tas kecil Abraham benar-benar telah jatuh ke jalanan. Ia terpaku, air mata mengalir deras.

Nak, kamu ngomong apa nak? Kamu ngomong? Kamu ngomong? Kamu kan belum bisa ngomong.

Mona memegang erat kedua bahu anak itu, air mata mengalir deras dan isak tangisnya pun meluap tanpa henti. Abraham tidak bergerak, kembali diam, tanpa mengeluarkan kata-kata apapun lagi. Mona pun memeluk erat sang anak sambil berkata

Maafkan aku Tuhan. Maafkan mama nak.

Semuanya berubah bagi Mona. Walaupun dunia terasa berat dan penolakan terus ia terima, ia bertekad untuk mengurus dan mendidik Abraham dengan sepenuh hatinya karena ia merasa ditegur oleh keajaiban yang terjadi di hari itu. Seakan-akan Tuhan tidak mengizinkannya untuk meninggalkan dunia ini walaupun ada begitu banyak kesulitan yang dihadapi, baik secara finansial, fisik, dan emosi. Hari itu, di pinggir jalan yang rindang, seorang ibu kembali menemukan alasan untuk hidup dan berjuang.

Project Akhir Skripsi Berbasis Karya Universitas Multimedia Nusantara:
Interactive Multimedia Storytelling