Di ruang praktek dokter yang dingin, Mona duduk bersebelahan dengan Abraham sambil menggenggam erat tangan anaknya yang mungil. Beberapa saat berlalu ketika seorang dokter masuk ke dalam ruangan tersebut membawa berbagai dokumen di tangannya, siap untuk membacakan hasil asesmen yang telah dilakukan.
"Ibu, Abraham memiliki
Autism Spectrum Disorder (ASD)

Autisme atau secara lengkap Autism Spectrum Disorder(ASD) disebabkan oleh gangguan perkembangan saraf pusat yang memengaruhi cara seseorang berkomunikasi, berperilaku, dan berinteraksi. Kondisi ini bukanlah penyakit. Dengan terapi khusus seperti terapi wicara, sensori integrasi, dan perilaku bisa membuat pribadi yang memiliki autisme memiliki keterampilan sosial yang lebih baik.
Sumber: RSPI (2025)
bukan sekadar speech delay atau keterlambatan bicara saja."
Namun, entah bagaimana Mona tidak berpikir terlalu jauh mengenai diagnosa yang baru saja ia dengar. Istilah itu sangat asing di telinganya dan tidak pernah ia temui di lingkungan sekitarnya sebelum hari itu. Oh mungkin ini seperti sakit batuk, dikasih obat pasti sembuh. Berarti kalau terapi, nanti juga Abraham sembuh,
pikir Mona saat itu.
Lambat laun Mona menyadari bahwa autisme tidak bisa ‘disembuhkan’ seperti penyakit-penyakit lain. Semenjak saat itu, hidup keluarganya berubah 180 derajat. Abraham membutuhkan terapi sensori integrasi minimal delapan jam per minggu, ditambah dengan terapi wicara, tes alergi, vitamin, dan segala macam kebutuhan diet yang harus disesuaikan. Biayanya tidak murah, Rp50.000,- untuk satu jenis alergi.
Padahal, Abraham perlu menjalankan ratusan tes alergi berbeda. Angkanya sekarang jadi sulit diabaikan. Tes tersebut mengungkapkan bahwa Abraham memiliki 48 jenis alergi yang termasuk di antaranya adalah bawang putih, bawang merah, ikan laut, dan buah-buahan yang berubah warna ketika dikupas. Dengan segala jenis alergi tersebut, Mona perlu memasak sendiri setiap makanan Abraham dan membeli segala jenis bahan dapur baru yang ia sendiri baru pernah dengar namanya. Garam himalaya, susu bebas kasein, makanan bebas gluten, tepung mocaf, dan masih banyak lagi.

Tidak heran, tagihan demi tagihan terus membengkak demi memberikan perawatan yang terbaik untuk Abraham. Kala itu, suami Mona bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS) dengan gaji 150 ribu sebulan sedangkan Mona hanya seorang ibu rumah tangga yang fokus mengasuh ketiga anaknya, Sara, anak perempuan pertama, Jeremy, dan Abraham, si kembar. Semenjak diagnosa Abraham diketahui, suami Mona bertekad mencari nafkah semaksimal mungkin agar Mona pun bisa mengurus anak-anaknya, demikian pembagian tugas mereka sebagai suami istri. Namun, tidak bisa dipungkiri, hati Mona semakin gelisah dan gundah melihat Abraham mulai memasuki usia sekolah dan Mona perlu mencarikan sekolah yang bisa mengakomodasi sang anak.
Bu, mohon bantuannya ibu. Bolehkah Abraham anak saya sekolah di sini juga?
pinta Mona kepada kepala sekolah TK tempat anak pertamanya, Sara, bersekolah.
Wah, sebenarnya kami belum memiliki fasilitas yang cukup untuk Abraham ibu, tapi mungkin jika ibu menyediakan helper untuk menemani Abraham di kelas, kami masih bisa membantu ibu,
jawab sang kepala sekolah dengan hangat kepada Mona. Tanpa berpikir panjang, Mona langsung mengiyakan tawaran tersebut. Ia mencari seorang profesional yang memiliki background pendidikan luar biasa untuk membantu Abraham ketika mengerjakan PR, menenangkannya ketika ia tantrum di kelas, dan juga menemaninya ketika berjalan kaki pulang ke rumah.
Di samping bersekolah di TK, Mona tetap memberikan Abraham berbagai macam terapi dan juga mendidiknya di rumah semampunya. Pengetahuan itu didapatkan berkat dirinya yang sering ikut masuk ke ruangan terapi Abraham dan mengamati setiap kegiatan yang dilakukan. Usai sesi, ia juga sering berbicara dengan para terapis, bertanya, dan berteman dengan terapis Abraham. Mona gigih melatih gerak sensorik dan motorik Abraham secara mandiri dengan bermodalkan tips yang diberikan para terapis.





Sumber: Dok. pribadi
Ban bekas dan tali dirangkai menjadi ayunan di halaman belakang rumah, bongkahan plastik ia ubah menjadi perosotan, bahkan permintaan oleh-olehnya kepada teman yang sedang berlibur adalah pasir pantai. Semua itu ia lakukan untuk melatih motorik dan juga sensorik Abraham secara mandiri di rumah.Kalau begini, kita gak usah terapi sebanyak itu dan bisa hemat dengan terapi di rumah aja,
pikirnya. Ditambah lagi, permainan-permainan tersebut juga menjadi wahana bermain bagi Jeremy dan Sara. Saat akhir pekan, Mona menghabiskan waktu bersama Abraham bermain ke sawah, belajar grounding di rumput tanpa alas kaki, dan bermain ke sungai.


