Penolakan

Bertubi-tubi

Ilustrasi Abraham dengan Helper
Mona bersama Abraham ketika berusia tujuh tahun.
Sumber: Dok. pribadi

Ketika Abraham memasuki usia tujuh tahun, tubuhnya mulai semakin tinggi dan gempal, tetapi ia masih nonverbal. Perilaku sosialnya juga kian membaik berkat terapi, meskipun ia masih belum bisa berkomunikasi dengan baik kepada orang-orang di sekitarnya. Namun, Mona tetap gigih dan berusaha mencarikan sekolah bagi Abraham. Setelah bertanya-tanya ke orang sekitar, Mona mencoba menghubungi salah satu SD swasta yang cukup terkenal saat itu. Awalnya Abraham diterima, tetapi ada beberapa syarat yang cukup memberatkan.

"Ibu, karena Abraham memiliki autisme dan memerlukan pendampingan khusus, silahkan ibu menyediakan pendamping sebagai shadow teacher Abraham ya, bu.
Selain itu, uang pangkal dan uang saku sekolahnya akan berbeda ibu. Biayanya akan dua kali lipat dibanding anak-anak reguler,"

ujar pihak sekolah kepada Mona. Kembali lagi, Mona tidak mengeluh atau berpikir panjang untuk menyanggupi permintaan sekolah tersebut.

Ilustrasi Abraham dengan Helper
Ilustrasi Abraham dengan Helper
Ilustrasi Abraham dengan Helper

HARI

PERTAMA

Abraham tiba di sekolah pertamanya, lengkap dengan seragam dan tas ransel kecil yang berisi keperluan sekolah dan bekalnya dari rumah. Ditemani oleh pendamping, Abraham pun berbaris masuk bersama teman-teman sekelasnya sebelum memulai pelajaran di kelas. Hari itu, kelas berjalan dengan cukup lancar. Namun Abraham berteriak, berlari kesana-kemari, dan tidak bisa duduk diam seperti teman-temannya yang lain. Beberapa teman sekelasnya saling menatap kebingungan, mereka tidak terbiasa melihat perilaku seperti itu.

Ibu kok dia gitu? Kenapa dia lari-lari terus? seorang anak di kelas itu bertanya kepada ibu guru yang sedang mengajar. Gak apa nak, Abraham memang berbeda, tetapi kamu harus kita terima ya, jawab gurunya yang mencoba menenangkan anak itu. Namun, bagaimana seorang anak kecil tetaplah seorang anak kecil. Mereka belum bisa sepenuhnya mengerti keadaan temannya yang berbeda dan tetap memberikan tatapan kebingungan kepada Abraham.

Mona menggandeng tangan Abraham dengan erat sembari menuntunnya menuju ruang kelas bersama sang pendamping. Ketika bel masuk berbunyi, Abraham pun berjalan dengan sang pendamping untuk berbaris masuk bersama teman-temannya yang lain. Mona baru saja membalikkan badannya menuju pintu keluar saat suara wali kelas Abraham memanggil dirinya.

HARI

KEEMPAT

Ibu Mona, maaf ibu. Apakah boleh saya
minta waktunya sebentar?


ujar wali kelas Abraham.

Oh boleh ibu. Ada apa bu?


jawab Mona.

Begini bu, setelah mengobservasi Abraham selama beberapa hari ini kami menemukan bahwa Abraham masih sulit untuk bisa fokus dan mengikuti pelajaran di kelas. Selain itu, beberapa orang tua mengajukan komplain kepada kami mengenai anak ibu.


ujar sang wali kelas.

Bukankah pendamping yang saya sediakan sudah
cukup membantu bu? Komplain apa yang diajukan?


tegas Mona.

Raut wali kelas Abraham menunjukkan kegelisahan, kepalanya tertunduk.

Begini bu, mereka tidak terima bahwa anak ibu yang ‘spesial’ digabungkan dengan anak mereka yang ‘normal’.Mereka merasa terganggu dengan perilaku Abraham dan merasa anaknya tidak akan fokus dengan keberadaannya. Selain itu, banyak orang tua mengancam jika kami tidak mengeluarkan anak ibu, merekalah yang akan keluar dari sekolah ini.”

Mendengar hal itu, hati Mona seperti dihantam batu besar yang membuat air mata menggenang di ujung matanya. Tidak ia sangka, penolakan akan datang secepat ini.

Seminggu saja belum tetapi anakku sudah mau dikeluarkan, pikirnya. 

“Bu, maaf sekali atas hal ini bu. Apakah tidak ada lagi yang bisa saya usahakan?
Apakah pendampingnya kurang sigap ibu?”

“Maaf ibu, kami juga sudah mencoba membujuk para orang tua, tetapi mereka tidak bergeming. Saya juga merasa tidak enak hati untuk melakukan ini, tapi kami ditekan habis-habisan oleh orang tua lain, bu. Anak mereka komplain dan berkata Abraham selalu berlarian dan berisik. Maaf sekali lagi ibu, sepertinya sekolah kami belum tepat untuk Abraham”, sang wali kelas menundukkan kepala sembari meminta maaf kepada Mona. 

Dengan berat hati, Mona tersenyum pahit dan menganggukkan kepalanya,
“Baik bu, terima kasih atas waktunya yang singkat di sini. Maafkan saya dan Abraham juga ya bu.”

Ilustrasi Abraham dengan Helper

Keesokan harinya, Abraham tidak berangkat ke sekolah. Ia justru berada di sebelah Mona, mengikuti ibunya berkeliling mencarikan sekolah yang baru bagi dirinya. Waktu kian berlalu, dan penolakan terus datang tak ada habisnya. Alasan mereka selalu sama.

Anak ibu tidak bisa diam di kelas, bu. Sangat aktif.

Abraham ini tidak mau pakai seragam sekolah sedangkan itu sudah menjadi peraturan kami di sini wajib berseragam.

Ada beberapa guru yang merasa tersaingi oleh pendamping Abraham.

Banyak anak murid protes ke orang tuanya karena Abraham tiba-tiba berteriak dengan kencang di kelas.

Berbagai macam sekolah ia coba datangi, beberapa langsung menolak, beberapa menerima, tetapi pada akhirnya kembali dikeluarkan dengan alasan yang serupa.

TOTAL 8 SEKOLAH MENOLAK ABRAHAM

dalam jangka waktu 3 tahun dimulai dari Abraham berusia 5 tahun. Dengan banyaknya waktu, uang, dan tenaga yang terbuang, Mona semakin letih dan sangat ingin menyerah. Ditambah lagi, pendidikan inklusif belum menjadi sesuatu yang dijalankan pada masa itu.  

Project Akhir Skripsi Berbasis Karya Universitas Multimedia Nusantara:
Interactive Multimedia Storytelling