Mona menggandeng tangan Abraham dengan erat sembari menuntunnya menuju ruang kelas bersama sang pendamping. Ketika bel masuk berbunyi, Abraham pun berjalan dengan sang pendamping untuk berbaris masuk bersama teman-temannya yang lain. Mona baru saja membalikkan badannya menuju pintu keluar saat suara wali kelas Abraham memanggil dirinya.
HARI
KEEMPAT
Ibu Mona, maaf ibu. Apakah boleh saya
minta waktunya sebentar?
ujar wali kelas Abraham.
Oh boleh ibu. Ada apa bu?
jawab Mona.
Begini bu, setelah mengobservasi Abraham selama beberapa hari ini kami menemukan bahwa Abraham masih sulit untuk bisa fokus dan mengikuti pelajaran di kelas. Selain itu, beberapa orang tua mengajukan komplain kepada kami mengenai anak ibu.
ujar sang wali kelas.
Bukankah pendamping yang saya sediakan sudah
cukup membantu bu? Komplain apa yang diajukan?
tegas Mona.
Raut wali kelas Abraham menunjukkan kegelisahan, kepalanya tertunduk.
Begini bu, mereka tidak terima bahwa anak ibu yang ‘spesial’ digabungkan dengan anak mereka yang ‘normal’.Mereka merasa terganggu dengan perilaku Abraham dan merasa anaknya tidak akan fokus dengan keberadaannya. Selain itu, banyak orang tua mengancam jika kami tidak mengeluarkan anak ibu, merekalah yang akan keluar dari sekolah ini.”
Mendengar hal itu, hati Mona seperti dihantam batu besar yang membuat air mata menggenang di ujung matanya. Tidak ia sangka, penolakan akan datang secepat ini.
Seminggu saja belum tetapi anakku sudah mau dikeluarkan, pikirnya.
“Bu, maaf sekali atas hal ini bu. Apakah tidak ada lagi yang bisa saya usahakan?
Apakah pendampingnya kurang sigap ibu?”
“Maaf ibu, kami juga sudah mencoba membujuk para orang tua, tetapi mereka tidak bergeming. Saya juga merasa tidak enak hati untuk melakukan ini, tapi kami ditekan habis-habisan oleh orang tua lain, bu. Anak mereka komplain dan berkata Abraham selalu berlarian dan berisik. Maaf sekali lagi ibu, sepertinya sekolah kami belum tepat untuk Abraham”, sang wali kelas menundukkan kepala sembari meminta maaf kepada Mona.
Dengan berat hati, Mona tersenyum pahit dan menganggukkan kepalanya,
“Baik bu, terima kasih atas waktunya yang singkat di sini. Maafkan saya dan Abraham juga ya bu.”