Kesulitan ini dirasakan sendiri oleh Lily (49), Kepala Sekolah SD Kalam Kudus 3, yang menjelaskan bahwa para guru menghadapi tantangan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus di settingsekolah reguler,

Kendalanya kadang-kadang di sisi waktu ya, karena ketika mengajar satu kelas yang sifatnya reguler, satu kelas itu kurang lebih 25-29 murid. Pasti ke distract ya fokus guru untuk mengajar jika ada anak kebutuhan khusus yang perlu special attention gitu. Ketika tantrum juga kan kurang bisa dikontrol anaknya, jadi ketika guru menertibkan dia dan sebagainya, kadang-kadang secara manusia ya terpicu juga emosionalnya gitu,

ujarnya (Jumat, 17/10/2025).

Lily juga menjabarkan bahwa para guru belum memiliki kemampuan khusus dalam menangani ABK, terutama autisme.yang membuat pembelajaran menjadi kurang efektif baik bagi sang anak, maupun bagi guru yang mengajar. Ditambah lagi, anak autisme memerlukan penyesuaian kurikulum yang berbeda bagi setiap anak.

Oleh karena itu, ia mengungkapkan perlunya dukungan dari pemerintah untuk membantu pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah lewat pembekalan guru-guru. Metode pembelajaran yang tepat, capaian pembelajaran khusus, dan penyesuaian kurikulum menjadi poin-poin penting yang ia pikir perlu untuk disosialisasikan kepada para guru.

Ilustrasi Mona, Abraham, dan dokter di ruangan RS

Di sisi lain, seorang guru SD Kalam Kudus 3, Afriyanti menyatakan kesulitannya ketika mendapatkan kesempatan untuk mengajar salah satu anak dengan kebutuhan khusus di kelasnya,

Itu tantangan yang berat banget. Jujur kaget sih, bulan pertama, bulan kedua, kenapa ya? Ini dia lari-lari, dia nggak bisa diem, loncat-loncat gitu. Tapi akhirnya mau keadaan dia seperti apa kita harus belajar menerima dulu nih. Kalau kita sudah bisa menerima, baru kita bisa masuk dan belajar mendidik mereka,

ujarnya ketika ditanya mengenai perasaannya ketika pertama kali menghadapi anak dengan berkebutuhan khusus (Jumat, 17/10/2025).

Dalam perjalanannya mengajar sang anak, Afri akhirnya meminta bantuan dari guru Bimbingan Konseling (BK) untuk membantunya di dalam kelas dan secara rutin berkomunikasi dengan orang tua sang anak untuk bekerja sama dalam mendidik anaknya melalui penambahan terapi khusus di luar sekolah. Afri menjelaskan bahwa dirinya sangat bersyukur ketika sang anak menunjukkan perubahan perilaku yang positif setelah bulan ketiganya duduk di bangku sekolah dasar (SD).

Ia menyadari hal ini merupakan hasil dari kerja sama yang baik antara pihak orang tua dan pihak sekolah. Namun, tidak dapat dipungkiri, Afri mengakui sarana prasarana yang ada di sekolah reguler juga menjadi tantangan tersendiri. Kalau dia (anak berkebutuhan khusus) ‘kan benar-benar butuh sesuatu yang kayak untuk sensorik atau puzzle atau apa. Itu kan butuh dana lagi. Mungkin juga butuh ada satu ruangan khusus juga (quiet room), tuturnya.

Project Akhir Skripsi Berbasis Karya Universitas Multimedia Nusantara:
Interactive Multimedia Storytelling