Inklusivitas yang
Masih di Atas Kertas

Meskipun peraturan mengenai pendidikan inklusif terlihat memberikan ruang dan kesempatan baru bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus, realitanya tidak seindah itu. Kenyataannya masih banyak orang tua dengan anak autisme di luar sana yang kesulitan mencarikan pendidikan bagi anak mereka karena berbagai alasan.

Dominic itu sudah pernah sekolah di sekolah reguler yang inklusif (menerima anak berkebutuhan khusus) terus ternyata tidak cocok, gurunya juga nggak bisa nge-handledia dengan baik. Terlalu banyak akademis jadi Montessori-nya kurang. Sekolah inklusif lain sih ada tapi jauh-jauh juga, - Lia (33).

Sekolah yang inklusif itu mahal-mahal ya. Mahal sekali, justru karena terkendala biaya saya dan papanya tidak memfokuskan hal itu. Lalu kadang Yovela masih mendapat perlakuan tidak enak karena dia autis. Karena mereka gak tau, apalagi yang bener-bener di lingkungan keluarga atau temannya gak ada yang autis. Saya rasa harus diedukasi. Ya mulainya dari sekolah. Dikenalin dari pendidikan inklusif, - Yanti (40).

Saya merasakan betul gitu ya. Gimana susahnya jadi ibu dengan anak autisme. Apalagi, dulu anak saya kan lahirnya tahun 90-an itu sekolah inklusif masih sedikit banget. Jadi makanya kenapa saya bikin Sekolah Mandiga karena anak-anak teman saya yang autisme pun udah nggak bisa kemana-mana. Ke SD umum ditolak-tolakin lah pastinya karena kan non-verbal ya, - Dr. Adriana Ginanjar (61).

Ilustrasi Mona, Abraham, dan dokter di ruangan RS
Yovela (Lala), seorang anak dengan autisme sedang belajar menulis di kelas inklusif.
Sumber: Dok. Penulis.
Ilustrasi Mona, Abraham, dan dokter di ruangan RS
Dominic, seorang anak dengan autisme yang sedang belajar menggunakan flashcards.
Sumber: Dok. Penulis.

Dari berbagai curahan hati orang tua dengan anak autisme, kesiapan sekolah pun akhirnya menjadi suatu pertanyaan. Meskipun inklusivitas dalam pendidikan adalah tujuan utama semua negara, tetapi sekolah inklusif di Indonesia terlihat belum siap menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Walaupun setiap sekolah saat ini diwajibkan untuk menerima ABK, nyatanya tidak semua sekolah menjalankan peraturan ini dengan efektif dikarenakan beberapa faktor. Di sekolah reguler, kesulitan pelaksanaan pendidikan inklusif kebanyakan berakar dari ketidaksiapan sumber daya manusia yaitu para guru.

Biasanya, sekolahnya nggak ready untuk menerima anak berkebutuhan khusus gitu. Programnya masih umum, atau pendampingan dan kesiapan dari gurunya minim,

ujar Estherina Yaneta Tantomo

saat diwawancarai secara daring (Kamis, 9/10/2025).

Ilustrasi Mona, Abraham, dan dokter di ruangan RS

Dr. Adriana Ginanjar juga menambahkan pendapatnya mengenai ketidaksiapan sekolah,

...di Indonesia itu kalau saya lihat dan terutama juga keluhan dari para orang tua, sekolah inklusinya itu sebenarnya belum terlalu siap menerima anak berkebutuhan khusus secara kurikulum dan juga terutama mereka-mereka yang memang butuh pendampingan khusus atau shadow teacher,

tambahnya (Selasa, 14/10/2025).

Project Akhir Skripsi Berbasis Karya Universitas Multimedia Nusantara:
Interactive Multimedia Storytelling