Gambaran Pendidikan bagi
Anak Autisme di Indonesia

Kisah Mona dan Abraham yang kesulitan mencari sekolah hanya merupakan salah satu dari begitu banyak kisah perjuangan orang tua lain dengan anak autisme atau berkebutuhan khusus. Di balik perjuangan mereka, tersembunyi persoalan yang lebih besar, yaitu kesiapan sistem pendidikan Indonesia menghadapi anak-anak dengan spektrum autisme.

Sebanyak 2,4 juta anak di Indonesia mengidap autisme

angka ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Kesehatan RI periode 2020-2024, dr Dante Saksono Harbuwono pada acara Special Kids Expo tahun 2024. Sedangkan, Dr Bernie Endyarni Medise, SpA(K), MPH, seorang dokter spesialis anak mengatakan bahwa dari 4,5 juta angka kelahiran di Indonesia, satu dari 100 anak mengalami autism spectrum disorder (ASD).

Dengan jumlah yang terus bertambah, diperlukan lebih banyak institusi pendidikan untuk menangani isu pendidikan bagi anak autisme. Utamanya, ada beberapa opsi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus terutama autisme di Indonesia, di antaranya adalah sekolah inklusif, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sekolah Luar Biasa (SLB), dan juga sekolah khusus atau sentra-sentra pendidikan nonformal lainnya.

SEKOLAH INKLUSIF

44.477 sekolah

(per September 2023)

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT (PKBM)

25.994 sekolah

(per 2025)

Sumber: Kementerian Pendidikan Dasar & Menengah

SEKOLAH LUAR BIASA (SLB)

5.107 sekolah

(per 2025)

Sumber: Kementerian Pendidikan Dasar & Menengah

Kenapa harus sekolah? Ya memang harus, karena tanpa pelatihan, tanpa metode pendidikan yang tepat, anak-anak ini nanti akan sangat kesulitan untuk berkomunikasi, akibatnya nanti frustasi, dan mengarah ke gangguan perilaku. Gangguan perilaku itu ‘kan bisa menyakiti diri sendiri, menyakiti orang lain,

ujar Dr. Adriana
(Selasa, 14/10/2025)

Dengan berbagai opsi pendidikan yang ada, penting untuk memilih pendidikan yang tepat bagi anak autisme. Dr. Adriana Ginanjar (61), seorang psikolog, orang tua dengan anak autisme, sekaligus pendiri Sekolah Mandiga menjelaskan bahwa anak-anak dengan autisme memiliki gangguan neurologis yang memengaruhi sistem saraf, sehingga fungsi dari pendidikan itu sendiri adalah untuk mengejar ketertinggalan mereka di beberapa aspek, bukan ‘menyembuhkan’ kondisi autisme yang dimiliki. Hal ini sering menjadi kesalahpahaman di antara orang tua yang berharap anaknya akan terlihat lebih ‘normal’ usai menjalankan pendidikan di sekolah formal sehingga pendidikan nonformal dipandang buruk karena dianggap kurang efektif.

Ditambah lagi, spektrum autisme yang begitu luas juga menambah kepentingan anak-anak autisme untuk diberikan pendidikan yang sesuai sepanjang hidupnya, bukan hanya pada golden age atau lima tahun pertama sang anak.

Namun, penting juga untuk menyadari bahwa pendidikan untuk anak autisme tidak melulu soal akademis.

“Jadi yang perlu diluruskan adalah sekolah itu bukan cuma soal calistung (baca, tulis, hitung). Justru untuk anak dengan autisme yang memiliki keterbatasan bina diri, sekolah itu jadi tempat yang tepat untuk mempersiapkan mereka mandiri dalam kehidupan sehari-hari tanpa menuntut mereka untuk excel dalam bidang akademik. Tentu ya, bentuk sekolahnya perlu disesuaikan dengan kebutuhan anak,” jelas Estherina Yaneta Tantomo (25), seorang psikolog klinis dan perilaku (Kamis, 9/10/2025).

Baik pendidikan formal lewat sekolah inklusif, maupun pendidikan nonformal seperti PKBM atau sekolah khusus, semua itu perlu ditinjau kembali oleh orang tua sambil berkolaborasi dengan psikolog atau terapis agar pendidikan yang dipilih tepat sasaran bagi kebutuhan sang anak.

Eksplorasi Lebih Lanjut Mengenai
Opsi Pendidikan Bagi Anak Autisme

Project Akhir Skripsi Berbasis Karya Universitas Multimedia Nusantara:
Interactive Multimedia Storytelling